ARC 1 : FLASH GAME no PRODUCER : Bab 1 : PROLOG
Kawan, aku akan memberitahu perjalanan kesuksesanku menjadi Developer Game Online Indonesia. Namaku adalah Handoko Suyanto. Terserah mau memanggil memakai nama depan atau nama belakang. Kedua-duanya bagus untuk dipanggil. Oh ya, hari itu, 20 Juli 2013, adalah momen yang sangat berharga dalam meraih
Ijazah SMP untuk melanjutkan ke SMA Terbaik. Aku merasa terharu sekali kawan. Baru
sekarang ini aku merasakan kekuatan yang luar biasa yang pernah dirasakan
semenjak lulus SD. Sesambil aku merasakan energi yang super dahsyat itu, dari
ujung Gerbang tempat ini muncul sesosok lelaki. Sepertinya sosok tersebut tidak
asing bagiku. Aku lihat-lihat lebih lanjut. Ternyata sahabatku sejak kecil,
Brian Irwansyah!
“Hai, Suyanto! Bagaimana acaranya? Sudah dimulai?”
“Sebenarnya sih belum dimulai. Tapi terima kasih sudah
datang”
“Sama-sama. Perpisahan untuk sekolahku sih 2 hari yang lalu.
Tapi aku gembira mendengar kamu lulus.”
“Oooo. Terus bagaimana hubunganmu dengan Feriska Rama Dian?
Masih serius?”
“Lumayan kok. Gak terlalu pisah juga sih. Oh ya, bagaimana
kabar si Gamer Geovani Sutrisno? Kudengar dia sering bolos dari sekolah dari
teman sekelasku.”
“Lumayan baik. Oooo, si Gamer-otaku itu. Kalau dia sih ya
begitu saja, PR jalan terus. Terus kalau ada tugas sekolah, dia langsung membaca
mention kawannya di Twitter. Ada masalah
dengannya?”
“Ehm, tidak. Kudengar dia juga lulus terbaik dengan tanpa
melihat absensinya. Sepertinya dasawarsa Pramuka tidak meluncur ke kita ya?
Saat yang terbaik dikalahkan dengan orang yang pas-pasan dalam belajar.”
“Benar-benar PARADOX hidup ini...”
Lalu kamipun masuk ke Gedung perpisahan yang sudah ditentukan
oleh para staf guru SMP-ku itu. Suasana disana sangatlah ramai. Dan terlebih
lagi lokasi duduknya dibagi dengan kelas yang sesuai. Disaat itu aku bertemu
dengan salah satu guru yang pernah mengajariku privat. Dia bernama Budi
Santoso, guru dibidang Komputer Jaringan. Aku semakin mendekat dengannya.
“Selamat pagi pak!”
“Ya, Handoko, selamat pagi. Tumben sekarang masuknya lebih
pagi, ada yang berubah darimu ya?”
“Eh tidak pak, malah saya semakin bersemangat karena akan
masuk sekolah lanjutan.”
“Kalau bisa sih pertahankan sampai lulus SMA, oke, Handoko?”
“Baik pak! Tapi saya belum menanyakan kabar kepadamu pak,
kabar bapak baik?”
“Buruk! Malah setelah UAN kamu, semakin buruk.”
“Weleh, ada masalah apa dengan bapak? Bapak diancam oleh
seseorang? Kalau bisa saya panggilkan junior yang ikut Karate!”
Wajah pak Budipun penuh dengan kecemasan.
“Begini, Handoko. Teman bapak, seorang Game Programmer, Ginga
Amirul Muizz, dikalahkan peringkatnya oleh seorang yang dari Bekasi.”
Akupun menenangkan pak Handoko yang sekarang sedang cemas.
“Tenang pak, yang namanya berkompetisi itu membutuhkan
sportifitas. Dan wajar kalau teman bapak dikalahkan olehnya.”
“Masalahnya dia setelah meraih kelas Profesional Mancanegara,
dia akan mengambil alih seluruh pasar penjualan game. Dan game favorit bapak
yang Mario Bros dan Battlefield 3 adalah salah satunya.”
“Kalau begitu aku tidak mau ikut campur deh. Karena...”
Pak Budi menyanggah.
“Game favorit kamu DOTA, Rising Force Online,dan Nusantara
Warriors Online, kan?”
“Iya pak. Memangnya kenapa?”
“Game-game tersebut juga akan di banned di pasar game dunia.”
Aku sedikit shock saat itu.
“Handoko, kamu tidak apa-apa kan?”
“Tidak pak, hanya shock sedikit.”
“Handoko, nanti setelah selesai acara, kita lanjutkan
pembicaraan kita. Acara perpisahannya mau dimulai tuh”
“Baik pak. Sampai jumpa”
Acara itu berjalan dengan tidak ada perasaan senang dariku.
Aku duduk di sebelah temanku yang bernama Fauzi Umayah. Dia sedikit lebih
pendek dariku. Tapi aku percaya padanya bahwa, dia bisa menenangkan aku. Dia
juga manga-ka untuk komik strip di rubrik mading sekolah. Dia cukup populer di
kalangan OSIS dan Pecinta alam. Aku merasa terbantu didekatnya. Dia memulai
percakapannya.
“Hey, bro! Apa kabar?”
“Buruk, cuy. Ada masalah serius.”
“Tenang. Aku kan penenang masalah dari 3 tahun yang lalu
hanya untukmu. Terus apa masalahnya?”
“Kamu suka game kan? Game apa yang sedang kamu ikutkan?”
“Iya. Game Sengoku Basara 3, Resident Evil Bio Hazard, Halo,
lalu Sim City Sociates. Kenapa?”
“Kamu tahu berita game programmer yang berasal dari Bekasi
kan?”
“Iya. Kalau tidak salah, dia melaju sebagai Game Programmer
hanyalah untuk membuat bangga Indonesia, karena satu-satunya Game Programmer
profesional yang asli berasal dari Dayak. Kau tahu kan, bahwa Dayak adalah suku
terbelakang jika dilihat dari lokasi penduduknya?”
“Iya sih. Namun dia ternyata punya obsesi tersembunyi. Ini
didapat dari Guru kita, Pak Budi. Dia bukanlah membuat bangga Indonesia secara
positif, namun secara negatif.”
“Negatif? Tunggu dulu. Di TV diberitakan dia direkam dengan
wajah semangat. Dan aku analisis wajahnya itu, dia tidak punya obsesi yang
lain.”
Ternyata aku salah memilih teman curhat seperti dia. Maka aku
memulai desakan.
“Kalau kamu juga seorang gamer, maka lindungilah semua game
yang sedang kamu ikuti itu, kawan?”
“Maksudmu apa?” Dia membuat tanda tanya besar.
“Dia ingin Indonesia dikenal sebagai Diktator game, bukan
sebagai aliansi dunia.”
Fauzi semakin bertanya-tanya. ”Aku tidak mengerti.”
“Dia sengaja pasang muka seperti itu untuk meyakinkan Dunia
bahwa, Dia akan datang di Studio Square Enix untuk bekerja sama. Namun dibalik
pekerjaannya itu, dia juga akan memulai kegiatan Mem-banned game Square Enix
yang tidak dia sukai pada malam harinya.”
“Aku sih tenang saja, karena gameku tidak akan...”
“JUGA AKAN DIBANNED!”
Aku berteriak didalam ruangan itu disaat Pembawa Acara
menyampaikan acara selanjutnya. Aku pun ditegur secara lembut oleh Kepala
Sekolah. Akupun malu dan semakin mengatur emosiku. Fauzipun bertanya kembali.
“Be-be-benarkah itu, Handoko?”
“I..i..iya , benar sekali. Apa yang kamu akan lakukan
selanjutnya?”
“Karena aku gamer juga. Maka akan kuputuskan untuk mengambil
target ITB sebagai jalan kuliahku...”
“Jalanmu masih panjang. Tidakkah ada jalan yang paling
dekat?”
“Iya sih benar sekali. SMA saja 3 tahun. Belum lagi kalau
tidak lulus, 4 tahun. Bagaimana nih Handoko?”
“kamu harus pertaruhkan kehidupanmu dan belajar secara
otodidak, tentunya sebagai Game programmer.”
“Ide bagus, akan aku hentikan program mading...”
“Tidak usah. Kamu juga lanjutkan karyamu dan di lain waktu
kamu belajar program juga. Bagaimana?”
“Ide bagus. Jadi aku akan membuat komik, dan setelah itu,
komikku juga dibuat game parodinya. Setujukah, Handoko?”
“Bagus. Jadi apakah kamu mau menjadi aliansi kami, sebagai
Pejuang Indonesia?”
“Mau!”Dia antusias mendengar ucapanku.
“Bagus. Kegiatan kita bakal dimulai sejak masa Orientasi
siswa SMA dan berakhir saat dia dipastikan kalah.”
Obrolan kamipun terhenti sementara saat acara penyerahan
Ijazah SMP dan diikuti oleh acara lempar Topi wisuda. Setelah acara itu
berakhir, kamipun bersama-sama menuju pak Budi untuk membicarakan hal tersebut.
“Hai, Handoko!” Pak Budipun menyapa kami dengan wajah penuh
perhatian.
”Ya pak Budi, ada apa?”
“Tidak apa-apa. Handoko sudah baik keadaannya?”
“Saya sudah mendingan pak! Pak ada yang bergabung di Pejuang
Indonesia!”
“Oh, dia ya, yang si pegawai Mading sekolah. Punya keahlian
apa kamu, Fauzi?”
Pak Budipun menanyai Fauzi dengan penuh ketidak-pastian.
“Sebenarnya sih tidak punya keahlian. Namun, saya bisa
otodidak sendiri kok!”
“Bagus. Handoko, kamu sudah mendapatkan pasukan sendiri.
Fauzi, jangan tinggalkan kegiatan madingmu. Ok?”
Fauzi pun mengacungkan jempol sembari mengatakan,”Baik pak!
Akan saya usahakan yang terbaik.”
“Handoko, tingkatkan belajar kamu. Jangan terlambat lagi.”
“Baik pak. Saya tidak akan terlambat lagi.”
“Baiklah, bapak mau langsung ke kost-nya Ginga dulu ya?
Langsung pulang ya! Didepan graha Cijantung tempat yang rawan.”
Kamipun menjawab nasihat singkat Pak Budi itu.
”Baik pak! Kamipun mau langsung konvoi dengan teman sekelas
mengelilingi Jakarta Timur lewat jalur aman!”
“Hati-hati ya, kalian di konvoi!”
“Baik pak!”
Itulah mungkin terakhir kalinya aku mengucapkan
selamat tinggal kepadanya. Dia akan mulai bertarung dengan pem-banned tengik
itu. Tidak tahu apakah Cuma dengan program atau langsung memakai fisik.
Akupun keluar dengan ditemui oleh Brian, kawanku yang sudah
lama menunggu diluar demi menunggu kami.
“Handoko, lama sekali sih! Aku jadi menghabiskan beberapa
lembar uang 20 ribuan cuman buat beli Hokben di Graha sana.”
“Iya, gara-gara aku berbicara terlalu keras, aku ditegur oleh
Kepala Sekolah. Memalukan sekali, kan?”
“Oh ya sih. Aku sempat mendengar suara keras dari dalam.”
“Sudahlah, obrolnya disudahkan dulu. Kita mau konvoi nih!”
“Konvoi? Terus aku harus bagaimana? Aku kan niat gak bawa
motor?”
“Kalau begitu, naiklah dimotorku. Oh ya, belum kukenalkan.
Ini namanya Fauzi Umayah. Dia anak mading di sekolahku.”
“Oh, kalau begitu aku Brian Irwansyah.”
Fauzipun menjawabnya.” Oh ya, salam kenal, Brian.”
“Tenang, Brian, dia bawa motor kok!”
“Kalau begitu aku sudah mulai menaiki motormu yang penuh gaya.”
“Iya sih meskipun tidak pernah dimodifikasi, namun ini masih
terlihat keren kan?”
“Yap, Handoko, ayo kita mulai convoinya!”
Aku segera menjelaskan kejadian yang akan terjadi.
“Kita menunggu ketua kelas dulu, barulah kita memulai
convoinya.”
“Baiklah, Handoko. Aku turut mengikuti...”
Fauzipun memberitahu sekitar....
“Hei, Handoko. Ketua kelas sudah keluar tuh. Mau menyalakan
motornya duluan?”
Akupun menyanggahnya.
“Tunggu dulu. Apa benar, dia sendirian, Fauzi?”
Fauzi langsung menyabet
hal itu.
“Tenang, dia sendirian kok! Tenang saja.”
Farhan Sidqy, sang mantan ketua kelas 3 SMP itu, mendekati
kami dan memberikan berita yang sebenarnya kepada kami. Kamipun mendengarkan
berita tersebut.
“Semuanya, dengarkan dulu beritaku. Sebenarnya, kemarin,
menjelang perpisahan, orang tuaku sudah mengancam kepadaku. Jika tidak diikut
sertakan dalam acara perpisahan ini, nanti aku akan dikirim ke Gontor, menjadi
Santri disana, setelah ini. Dan kalian tahu apa yang paling aku tidak sukai?”
Farhan membuat tanda tanya. Tidak ada dari kamipun yang
berhasil menjawab pertanyaan sang ketua.
“Aku paling tidak suka kalau aku sendirian. Apalagi tanpa
Game.”
Ada seorang yang memperdebat pembicaraan ini. Zidqy Rahman
namanya. Dia sedikit lebih tinggi daripada Brian. Dia anggota club basket kebanggan SMP kami.
“Jadi intinya kamu tidak mengikuti konvoi ini?”
“Iya, apalagi sudah dilarang oleh orang tuaku untuk ikut
konvoi, apalagi pakai motor. Dan yang membuat mustahil aku bisa berbadung ria itu, didalam, orang tuaku
menunggu. Dan dalam waktu secepatnya harus kembali kedalam untuk ikut orang
tuaku pulang. Mungkin wakil ketua bisa menemani kalian berkonvoi. Yap! Donny,
bisakah kamu temani temanmu untuk berkonvoi?”
Wakil ketua kelas kami yang menjadi primadona. Namanya Donny
Hikmansyah. Dia mempunyai suara yang lebih maskulin. Namun, menurut rumor, Dia
ternyata Cewek. Itu terbukti dari tes UKS sekolah kami yang dibawahi oleh Bu
Novi Iskandarwati, bahwa, dia pernah Datang bulan. Dan sekarang, dadanya
semakin subur. Hus, jadi terlalu vulgar. Tapi untungnya aku rahasiakan ini
sampai lulus SMA nanti. Supaya dia tambah semangat menjalani hari dengan
kegiatan yang sering dilakukan oleh cowok. Dan tentunya supaya lebih mengerti
perasaan cowok.
“ Bisa, Farhan. Akan kupimpin mereka untuk berkonvoi. Sudah,
Farhan, pulanglah dengan orang tuamu. Cepat istirahat ya? Kan capek sehabis
ujian sebulan.”
“Kamu kan cowok, kenapa perhatian samaku terus sih? Memangnya
kamu gak laku?”
Dia menjawab dengan sedikit suara nge-bass.
“Karena kesehatan ketua lebih penting. Dan aku sudah punya
cewek, tapi tempat cewek itu berjauhan. Dia ada di Bogor.”
Dia mulai menunjukan muka mesumnya.
“Memangnya dia cewek periangan ya? Namanya siapa?”
Dia menjawab dengan sedikit suara nge-bass sekali lagi.
“Ya. Dia bernama Yashinta, anak IPB. Emang, ada apa?”
Diotakku saat itu terdeteksi ucapannya sebagai ( Yuri Detected.. 0.0’
)
Dia menghilangkan muka mesumnya.”Dia kan jago silat, gak
ditakol tuh?”
“Gak. Ayo semuanya, nyalakan mesin kalian! Kita tinggalkan
ketua kelas yang semakin hari semakin gak jelas!”
Akupun segera menyalakan mesin motor Honda classic 4 tak. Tapi akupun turut kasihan
dengan Farhan. Bab ini selesai dengan dimulainya konvoi. Bersambung.